Sertifikasi
produk perikanan yang berkelanjutan atau ekolabel merupakan salah satu
pendekatan dengan memposisikan pasar (market & demand) sebagai kunci yang
dapat mempengaruhi akitivitas perikanan secara global. Melihat fakta dari total
286 perikanan di 36 negara yang telah tersertifikasi MSC (Marine Stewardship
Council) di dunia, masih belum ada yang mewakili dari sektor perikanan tangkap
Indonesia
. Padahal potensi nilai ekonomi yang muncul dari pasar produk perikanan tersertifikasi ekolabel ini mencapai US$4.6 billion (Annual Report MSC, 2015).adalah satu hal yang menjadi tantangan dalam sertifikasi MSC di Indonesia adalah belum tersedianya ahli yang dapat melakukan penilaian kondisi perikanan mengacu pada prinsip-prinsip standar MSC yang meliputi:
. Padahal potensi nilai ekonomi yang muncul dari pasar produk perikanan tersertifikasi ekolabel ini mencapai US$4.6 billion (Annual Report MSC, 2015).adalah satu hal yang menjadi tantangan dalam sertifikasi MSC di Indonesia adalah belum tersedianya ahli yang dapat melakukan penilaian kondisi perikanan mengacu pada prinsip-prinsip standar MSC yang meliputi:
1)
Keberlanjutan stok;
2)
Minimalisir dampak ekosistem; dan
3)
Pengelolaan perikanan yang efektif.
Melihat
kesenjangan yang ada, WWF-Indonesia bekerjasama dengan para peneliti, akademisi
di Indonesia serta pihak CABs (Conformity Assessment Bodies) melakukan kegiatan
“Indonesia Pre-assessment MSC Training and Workshop” pada tanggal 15-17
Februari 2018 di Denpasar, Bali, yang bertujuan meningkatkan kapasitas dan
kualitas para calon asesor.
Keikutsertaan
para calon asesor dalam kegiatan ini meliputi perwakilan dari Institut
Pertanian Bogor (IPB) – Dr Mukhlis Kamal, Universitas Diponegoro – Dr Diah
Permata Wijayanti, dan Universitas Hasanuddin – Dr Rijal Idrus & Dr Aidah
Ambo Ala Husein, bersama pemateri dari lembaga Poseidon, CABs dari Australia,
yang telah berpengalaman dalam proses penilaian perikanan mengacu pada standar
MSC yakni, Richard Banks dan Mikaela Zaharia.
“Indonesia Pre-assessment MSC Training &
Workshop ini berfokus pada penentuan skor indikator, menemukan kesenjangan atau
gap dalam praktik perikanan, dan penyusunan log frame untuk komoditas udang di
Kotabaru (Kalimantan Selatan), ikan karang di Wakatobi (Sulawesi Tenggara) dan
cakalang di Samudera Hindia” jelas Richard Banks dalam pembukaannya.
Hal
penting yang dilakukan sebelum memasuki proses penilaian lebih jauh adalah
penentuan cakupan perikanan yang akan tersertifikasi atau disebut Unit of
Certification (UoC). Area yang akan dilakukan penilaian mencakup Unit of
Assessment (UoA), komoditas ikan target utama, dan teknik penangkapan ikan yang
digunakan. Menindaklanjuti cukup banyaknya praktik perikanan di Indonesia yang
tergolong sebagai perikanan dengan data yang terbatas (poor data) maka
penggunaan tools RBF (Risk Based Framework) yang disusun oleh MSC menjadi
penting dan perlu dilakukan untuk membantu asesor dalam melakukan penilaian
tentang dampak aktivitas perikanan berbasis pada jastifikasi ilmiah dan
informasi lainnya yang dapat dipertanggung jawabkan.
Bertukar
informasi dan pengalaman antar asesor menjadi salah satu hal yang penting dalam
mengembangkan kapasitas ketika melakukan penilaian perikanan, karena setiap
komoditas memiliki kondisi yang berbeda-beda. “Harapannya dengan adanya
kegiatan ini dapat meningkatkan kapasitas para calon asesor dalam melakukan
penilaian perikanan mengacu pada standar MSC di Indonesia, tentunya ini akan
menjadi manifestasi berharga di masa depan” sambutan Abdullah Habibi (Fisheries
and Aquaculture Improvement Manager WWF Indonesia) sekaligus menutup kegiatan
ini.
Sunber : http://www.seafoodsavers.org/news/meningkatkan-kompetensi-penilaian-perikanan-calon-asesor-lokal-guna-capai-sertifikasi-msc/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar